Selasa, 19 Juni 2012

Ramai


Malioboro, Juni 2011

"Aduh, aku capek," keluh Nina pada Saka.
"Kita itu udah keliling-keliling Malioboro dari ujung sana sampe ujung sana Saka. Aku capeeeeeeeek," keluhnya lagi.

"Masa segitu udah capek? Itung itung olah raga dong Nina", Saka mencoba merajuk Nina.
"Sebentar lagi. Sebentaaaar lagi aja deh, cuma sampe situ," Saka menunjuk Benteng Vredeburg tak jauh dari situ.

Nina akhirnya berjalan sambil manyun-manyun kecapekan sedari tadi. 
"Mau anak ini apasih", batinnya. Ia menyeret kakinya dengan malas. Amat amat malas.

Benteng bredeburg 16.35 wib

Seharusnya benteng tutup pukul empat. Tetapi, sedang ada festival kebudayaan yang berlangsung di sini, jadi, benteng buka sampai malam.

"Jarang jarang nih bisa ke Benteng Vredeburg sore sore gini," ucap Saka dengan wajah berseri.

"Emang kenapa gitu? Terus penting?" Balas Nina sekenanya.

"Aih cemberut terus sih kamu, sini aku ajak keliling. Kamu itu udah jarang pulang ke Jogja sekalinya pulang marah-marah mulu. Sayang atuh sama wajah kalo keriput dini," Saka terkekeh, sedangkan yang diledek makin manyun.

Nina berjalan di belakang Saka, pelan-pelan. memasuki satu persatu diorama yang ada di Benteng Vredeburg. 

"Hmm, ternyata isinya bagus juga yah, menarik," Nina berkata pelan.

"Sudah neng marahnya?" ledek Saka.

"Mendadak diingatkan lagi, Nina kembali cemberut.

"Apaan sih," lalu melengos keluar dari diorama. 

"Udah cuma segini aja dioramanya?" Tanya Nina ketus.

"Eits, belum. Masih ada di atas, naik yuk."

"Naik?" Nina melirik Saka, mengernyitkan dahinya sesaat, lalu melangkah kembali, dengan malas.

Saka hanya tersenyum tipis, mengikuti Nina.

Kemudian Saka menjulurkan tangannya. "Sini, kamu lama banget sih jalannya."

Nina terdiam, lalu membiarkan telapak tangan Saka berpaut pada telapak tangannya.

Menyatu.

Di lantai atas terdapat koleksi koleksi barang barang peninggalan jaman dahulu, terasa sekali aroma masa-masa lampau yang kuat. Betapa sebuah perjuangan dapat terukir tanpa harus basi di makan waktu.

Sementara itu, kedua tangan mereka masih di sana, masih tersatukan dalam sebuah genggaman yang sama.

Lantai Dua Benteng Vredeburg, Sisi Selatan-Barat Laut 17.20 WIB

"Eh, ada sesuatu yang bagus yang mau aku kasih lihat ke kamu Nin," ucap Saka tiba-tiba.

"Eh? Apaan tuh?" jawab Nina penasaran.

Tanpa berkata Saka mengajak Nina keluar dari diorama lantai dua, menuju tempat semacam balkon si sisi selatan-barat lantai dua benteng, dan et voilla! 

Nina disuguhkan sebuah senja. Sebuah senja dari Yogyakarta, yang memang istimewa.
Dari sini, Nina melihat keelokan gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos Besar yang tampak menawan dengan segala khasnya, melihat keramaian lalu lintas Malioboro yang tidak pernah surut akan penikmatnya, melihat bagaimana lembayung senja berarakan akan pulang ke peraduannya, dan melihat alun-alun yang tampak dekat di sebelah selatan. Melihat semuanya. Nina senang sekali.

Dan rasa-rasanya, Nina mulai merasakan keramaian di hati dan benak Nina, banyak kupu-kupu mengelilingi dirinya. indah sekali.

"Selamat ulang tahun, Nina," ucap Saka sambil mengecup pipi Nina.
"Terima kasih Saka, terima kasih kadonya," Nina memeluknya perlahan.

Tiba tiba aku melihat kakak sepupuku datang dari arah samping, membuatku kaget.

"Loh, kak andre, ngapain kesini?" tanya Nina.

"Kakak mau ketemu orang dek, ini orangnya," ucap Kak Andre sambil melingkarkan tangannya di pinggang Saka. Raut wajah saka berubah kemerahan saat itu juga.

Aku diam tanpa kata.
Tersentak seketika.



Minggu, 17 Juni 2012

One


Looks like we made it
Look how far we've come my baby
We mighta took the long way
We knew we'd get there someday 
You're still the one I run to
The one that I belong to
You're still the one I want for life
You're still the one that I love
The only one I dream of

Shania Twain - You're Still The One 
when I dial your number, your heart was not home.
should i give up?

rocket rockers' song- better season

Relationship


For My Lovely Best Friend

listen! relationship is about you're self feeling and commitment. not mom, dad, brother, sister, or even your friends. let them understand.


Sehangat Serabi Solo



Aku adalah anak dari seorang pedagang batik di Pasar Klewer, tetapi ibuku hanyalah penjaga kios dari toko orang lain. Upahnya pas-pasan. Untuk menyekolahkan kami berdua saja ibu sudah tidak mampu. Apalagi untuk sekedar jajan dan bersenang-senang.


Pada suatu hari, aku dan adikku sedang berkeliling pasar mencari hiburan. Agar lupa rasa lapar, agar tidak bosan.


"Kak Ela, aku ingin sekali serabi itu," rengek Dika kepadaku sambil menunjuk penjual serabi yang ada di ujung jalan.


aku yang ditanya ikut ikut menelan ludah.


"Dika sayang, kak Ela engga punya uang buat beli serabi itu, nanti kalo kakak sudah punya uang banyak kakak beliin serabi yang banyak yaaaaa,"ucapku meredamkan adikku.


"Tapi aku kepingin sekali Kak, aku mau serabi itu Kaaaaaak,"adikku yang berumur lima tahun ini merengek makin menjadi.


Aku kasian dan tidak tega sekali melihat adikku merajuk seperti ini. Tetapi bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai uang. 


Dan otakku mulai berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat.


Aha! Satu ide terpampang di benakku.


Dika, kamu tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana. Kakak mau cari uang buat beliin kamu serabi itu," ucapku pada Dika.


Dika mengangguk.


Lalu aku mulai melancarkan strategy yang telah kubuat sebelumnya.


Kuputari daerah sekitaran pasar yang ramai, mencoba berdesak-desakkan dengan para pengunjung pasar. Mencari celah dan kesempatan.


Hap! 


Dengan amat mulus ku berhasil mengambil sebuah dompet dari ibu-ibu gendut yang tengah sibuk memilih batik di kerumunan pengunjung. Saatnya kabur dan membelikan adikku serabi yang diinginkannya.


Tuhan, maafkan aku. Ibu, maafkan aku.


Secepat kilat aku berlari ke arah penjual serabi , mengambil beberapa uang dari dompet hasil curian, dan membuang sisanya. Aku benar benar hanya ingin membelikan adikku serabi itu. Tidak lebih. Tidak boleh ada perbuatan dosa lagi. Hatiku berontak tidak karuan. Antara takut dan menyesal.


*


Sebungkus serabi sudah di tangan, saat kupastikan keadaanku sudah aman, aku  berjalan santai menuju tempat adikku menunggu tadi.


"Dika, tunggu Kakak sebentar lagi. Kakak bawa serabi sesuai keinginanmu," ucapku riang dengan menjinjing plastik berisi serabi yang masih hangat.


Sesampainya di tempat tadi, aku kebingungan. Adikku di mana?


Kucari-cari adikku di sekitar pasar, tetapi yang tertuju justru sekelompok orang yang ramai dan berkerumun. Seperti ada sesuatu.


Ya Tuhan! Jangan-jangan adikku?!


Aku berlari menerobos orang-orang yang mengerumuninya.


Dan benar saja, adikku ada di sana.


Aku menangis. Mengangisi adikku yang membisu di atas aspal.


Kemudian aku terpaku selama beberapa saat.






Itu Aku.
Terkapar berlumuran darah dengan serabi hangat yang masih ada di genggaman tangan.

Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


Di sebuah sudut kota bernama Bandung.

Kulirik jam tanganku sekali lagi. Ini sudah lebih dari setengah jam. Seharusnya tepat pukul tujuh.

Ah. aku bosan menunggu sepeti ini. ucap Mira dalam hati.

Aku sedang menunggu, menunggu dia.

Satu menit, lima menit, sepuluh menit. 

Mira mulai beranjak dari tempatnya menunggu. 

"Mungkin dia sibuk" Mira berbisik.

"Mira!" Ada seseorang dari belakang memanggil Mira.

Mira menoleh.

"Hei! Akhirnya datang juga," ucapnya kepada lelaki yang umurnya lima tahun lebih tua dari Mira itu.

Wajah mira berubah sumringah.

"Hai sayang, maaf ya, tadi jalanan macet. Kamu pasti udah lama banget nunggu ya? jawab lelaki itu dengan raut wajah penuh penyesalan. 

"Iya enggak apa-apa Rangga, kita jalan sekarang, yuk?" ucapku sambil melingkarkan tanganku di lengannya.


Malam yang indah di sebuah sudut kota bernama Bandung. Di sepanjang jalan braga kami saling melempar canda, berbagi potongan kebahagiaan, dan saling mendaur ulang rasa. bagiku, ini lebih dari cukup.

Setelah lelah lalu kami duduk menepi, di sebuah coffee shop yang tak jauh dari sana.

"Bagaimana Mira, kau senang malam ini?" tanyanya dengan sangat antusias.

"Senang sekali. Terimakasih Rangga," aku menyentuh tangannya perlahan.

Ia hanya tersenyum. 

"Oh sebentar ada telepon," ucap Rangga kemudian.

Rangga berkutat dengan telefon genggamnya selama dua menit. Dan dengan perlahan tapi pasti raut wajahnya sempurna berubah berbeda.

"Ada apa, sayang?" 

"Hmm, ada yang ingin kubicarakan padamu, Mira."

"Iya, tentang apa itu?"

"Mmm sebenarnya yang baru saja menelfonku adalah Reta, Istriku. Ia mengetahui hubunganku denganmu Mir, dan aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku mencintai Reta, juga kamu. Tetapi, Reta sudah lebih dulu kupercaya sebagai ibu dari anak-anakku. Maaf, sepertinya hubungan ini sampai di sini saja. Kumohon kau jangan menghubungiku lagi." Rangga kemudian berdiri, beranjak pergi.

Aku ternganga. Dia sedetikpun tidak memberikanku waktu untuk bersuara. Bukankah itu hakku? Aku tertatih membangunkan diriku sendiri. Menyesakkan.

Aku berjalan lunglai, terhenyak kejadian yang baru saja kualami. Memandang dengan hampa, berjalan tanpa arah, lalu kembali menyusuri Jalan Braga yang sedang ramai.

Dan pada saat yang sama, aku melihat dua cahaya besar yang semakin lama semakin mendekat. Semakin dekat seakan hendak menghempaskan tubuhku.



Aduh!

"Hey! Ngelamunin apa sih Mir? Temenin aku ke Jalan Braga, yuk! Ajak juga gih Rangga pacarmu itu," ujar Reta, sahabatnya sedari kecil sehabis memukul pundak Mira.

"Ha?" Aku menoleh.

Jumat, 15 Juni 2012

Kerudung Merah


Aku tergesa gesa menuju penginapan. kameraku tertinggal. aku tidak ingin melewatkan pemandangan Toba yang menawan tanpa menangkapnya dalam jepretan lensa. di perjalanan menjuju penginapan aku bertemu dengan seorang wanita setengah baya yang tertatih kesakitan. karena iba, aku mencoba menanyainya.


Mbak, mbak tidak apa apa?


Wanita itu menggeleng.


"Saya..takut.." ia menjawab pelan.


"Ada yang bisa saya bantu mbak??"


Wanita itu menggeleng lagi. Merapatkan kerudung merah yang dikenakannya. 


"Saya..tadi..mau dibunuh oleh suami saya." wanita itu mulai terisak.


"Apa mbak? Waduh, sekarang saya temani mbak ke kantor polisi saja ya?"


"Saya takut.."


Aku yang kebingungan ingin membawanya ke kantor polisi terdekat. Kasihan sekali wanita ini. Umurnya hampir seumur ibuku. Aku tidak tega meninggalkannya sendiri.


Ketika aku dan wanita berkerudung merah sedang berjalan menuju kantor polisi, seseorang berteriak.

"HEI TUNGGU! BERHENTI!"



Aku menghentikan jalanku, menoleh.


Tanpa babibu lelaki bertubuh sangar penuh tato menghampiri kami berdua, memberi hantaman tepat di wajahku.


"JADI INI LELAKI YANG KAU MAKSUT ITU? BENAR BENAR KURANG AJAR!"


Aku yang tak siap menerima hantaman mengaduh kesakitan.


Wanita berkerudung merah yang tertatih tadi bersembunyi di balik tubuhku.


"Maaf pak, salah saya apa ya? Mengapa bapak main pukul saja?!"


"Sudah! tidak usah banyak cakap! saya tau kau ini selingkuhan istri saya. tidak usah berpura pura tidak tahu!!"


"Tapi pak, saya...."


Belum selesai aku menjelaskan siapa aku sebenarnya, si bapak yang sepertinya preman itu memukulku lagi lalu menyeret tubuhku ke tepi Toba. Tubuh orang ini besar sekali sampai halauanku pun tidak berguna sama sekali. Sial aku kalah telak.


Ini orang seperti sakit jiwa. Tenagaku terkuras hanya untuk menangkis dan menghalau pukul pukulannya yang membabi buta, sampai ia tiba-tiba menarik leherku dan hendak melemparku ke danau.


Aku tercekik, dengan tersengal-sengal, aku berusaha melawan. tidak bisa. tidak bisa.


Dalam hitungan detik, ia menjatuhkanku ke Danau Toba yang sangat dalam itu, dan aku sudah pasrah akan mati karena aku tidak bisa berenang.


air-air-dan-air


Banyak air memenuhi wajahku, membuatku gelagapan. gelap






"HEI MAU SAMPAI KAPAN KAMU TIDUR? INI SUDAH PAGI. KAMU ADA UJIAN JAM TUJUH, KAN? ATAU MAU IBU SIRAM LAGI?"


Suara ibuku membuatku sadar, aku gelagapan mengusap wajahku yang baru saja disiram ibu.


Oh Tuhan, kupikir aku sudah mati.

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja



Palembang, Aku datang.

Empat tahun menyeselaikan studiku di negara tetangga selesai sudah. Kini aku kembali menapaki kota lamaku. Tempatku melabuhkan pusat-pusat penantian dan harapan yang kusimpan rapat-rapat. Tempat dimana ada gadis yang selalu mengharapkanku pulang tanpa pernah memaksa.

Ia juniorku di sekolah menengah atas dulu. Pertemuan kami berawal dari lomba fotografi tentang keindahan Sungai Musi. Aku ingat, wajahnya yang berkilau diantara sinar surya dan senja yang mengembang sempurna di atas kepalanya saat mencoba membidik foto Jembatan Ampera dari tepian Musi membuat wajahnya makin cantik. Seperti bidadari yang turun dari khayangan, indah dan bercahaya.

Dan siapa sangka dari lomba tersebut kami semakin dekat dan dekat, sampai suatu ketika aku memutuskan untuk menyatakan cinta, tepat dari tepian Sungai Musi yang sedang menjingga. Sebelum matahari sempat menenggelamkan jejaknya, Gadis itu berkata, iya.

Di tepian senja Sungai Musi cinta kita bersemi, tumbuh dan berkembang sempurna.


*

Ah, betapa rindu ini semakin tidak terkendali. akhirnya jarak yang menjemukan itu kini hilang, dan tidak ada lagi yang dapat menjadi sekat dari banyak peluk, kecup dan terendap dimakan masa masa basi. Aku harus segera menemuinya.

Sebuah pesan singkat terkirim untuk dia;

"Hai sayang, aku sudah kembali ke Palembang lho, ketemu yuk :)"

Setengah jam kemudian balasan tiba.

"Hei :) Boleh, sore ini di tepi sungai Musi jam lima sore. Bagaimana?"

"Oke, see you then :*" aku menjawab singkat. Tetapi rasanya begitu membuncah. Akhirnya, aku bertemu dia. Setelah sekian lama.


*

16.20 Wib

Aku bergegas merapikan baju yang kukenakan, dan mempersiapkan sebuah hadiah kecil untuk dia. Bukan, bukan hadiah kecil. Ini sudah kupersiapkan lama. Sebuah cincin dari hasil kerja paruh waktu selama kuliah. Dan sore ini, aku akan melamarnya.


*

16.45 Wib
Tepi Sungai Musi.

Gadisku belum datang, aku memang sedikit datang lebih awal untuk kembali mengingat banyak memoar tentangku dan dia, yang sudah terhitung lama. Lima tahun yang menyenangkan. Meskipun empat tahun diantaranya meski kita hadapi dengan banyak peluh dan pengorbanan rentang jarak dan waktu yang berbeda, Ia berbeda dari gadis-gadis kebanyakan. Tidak banyak menuntut, tidak banyak memaksa. Dan caranya membuat setiap waktuku cerah lebih dari sederhana.

Caramu mendaur ulang rasa begitu sempurna, seperti laburan setengah senja, mengarak surya bersama jingga merona. Kurasakan begitu banyak rindu berlarian ingin memeluk penujunya. Segera. 

Gadisku sampai. 
Oh Tuhan, lihat, dia masih cantik seperti dulu. Tidak, ia lebih cantik daripada yang kulihat dulu. 

Aku tersenyum ke arahnya.

"Hai, apakabar?" Tanyanya singkat dengan senyum manis tipis miliknya.
"Sangat baik. Bertahun-tahun tidak melihatmu kau semakin cantik saja."

Yang ditanya hanya tersipu, diam.

Lalu kami duduk di tepian Musi, bercengkrama tentang banyak hal, tentang kehidupannya, kehidupanku semasa kuliah, juga tentang keluarga kami masing-masing. Aku mau menunggu moment yang tepat untuk melamarnya.

"Eh, kita kan udah pacaran lama, aku juga sudah selesai kuliah.. Apa kau tidak memikirkan tentang pernikahan, sayang?" Aku mulai membuka suara.

"Eh? Menikah? Ehm.. Sebenarnya, orang tuaku menginginkanku segera menikah.."

"Oh ya? Kenapa kamu enggak bilang? kan aku bisa cepat cepat melamarmu. Aku punya sesuatu untuk kamu."

"Sesuatu? Apa itu?" Gadis itu tampak penasaran.

Aku bergegas berdiri, tepat saat senja mulai menepi di kolong kolong langit. mencoba merogoh saku celanaku mencari sebuah kotak kecil berwarna merah marun berisi cincin.

Ini akan menjadi senja terindah untukku dan dia.

Aku membantunya berdiri, menggapai perlahan kedua tangannya. menatap gadis itu lamat-lamat.

Tanpa sepatah apa, aku membuka kotak cincin itu. Tersenyum. Kamu menginginkan kita cepat menikah, bukan? Mau kah kamu menjadi Istriku, sayang?

yang ditanya justru menjadi diam.

sesaat gadis yang baru saja kulamar itu justru menangis sesegukan.

"Sayang? Kau tidak apa apa?" Aku merengkuh tubuhnya. Memeluknya perlahan.

"Kau terharu aku melamarmu secepat ini ya? Pasti kau tidak menyangka aku akan melakukannya saat ini", aku tersenyum, menghapus air mata di wajah gadisku.

Gadisku tersenyum tipis, lagi. Sambil menahan tangis, Ia berkata,

"Aku akan menikah dengan calon pilihan ibuku dua minggu lagi," ucapnya sambil mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya. 

Kotak merah marun dan cincin yang masih di sana, jatuh dengan sempurna tanpa aba-aba.

"Maafkan aku. Maafkan aku." Ia kembali menangis. Tidak lama. Ia berlari meninggalkanku. Sendiri mendapati senja hampir usai dengan raut hampa tidak menyangka.


Jingga di ujung senja mulai tenggelam lalu sempurna menghilang dibalik arakan awan.

Sama seperti halnya aku.

Kembali tenggelam terendap waktu, menyisakan malam yang entah kapan pagi datang.

Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan





Tepi pantai, 780km dari Belitung.

Masih pagi. Terlalu pagi malah. Tepian pantai di utara Jawa tampak lengang. Kesibukan terpusat pada arus lalu lintas dermaga, tidak jauh dari situ. Selebihnya masih tampak lengang seperti menyendiri. Begitu juga Marau.

Ada seorang gadis muda terduduk menekuk kedua lututnya di tepian pantai. Rambut ikal kecoklatannya berayun mengikuti arah angin yang tampak sepoi-sepoi. Wajah gadis itu sedang menampakkan guratan abu-abu.

“Aku rindu rumah,” ucapnya seraya mengeluarkan sebuah foto dari tas selempangnya.

Foto sebuah pulau kecil di Belitung. Pulau Lengkuas namanya.

Pulau dengan keindahan mercusuar, pantai yang jernih dan menenangkan, juga batu granit yang menakjubkan. Semua terangkai dengan seksama indahnya.

Marau membuka memori memori 10 tahun yang lalu, sebelum Ia meninggalkan kampong halamannya, Belitung. Ia menguak setiap sudut tepi pantainya, setiap langit dan senja yang tidak pernah lelah menebarkan pesonanya.

Ia menerawang menginginkan perjalanan pulang. Apakah mungkin?

Kesibukan calon suami Marau tidak bisa di terka, dan Marau jelas tidak akan diperbolehkan pergi ke luar pulau sendirian oleh orang tuanya. Begitu sulit hidup dengan banyak keterbatasan, Tuhan.

Marau tertunduk. Sesegukan.

Dari arah belakang Marau, seseorang menepuk pundaknya perlahan. Marau menoleh, menyeka tangisnya.

“Sayang, kau tidak apa-apa?” Ucap seorang lelaki bertubuh gempal dengan rambut cepak itu.

“Iya.. Hanya saja..” Kalimat Marau terpotong.

“Tapi mengapa?”

“Aku hanya rindu Belitung. Rindu Pulau Lengkuas yang sering ku kunjungi dulu..” Marau kembali sesegukan.

“Marau sayang, aku berjanji akan memenuhi permintaanmu. Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku dua bulan lagi. kamu mau bersabar kan?” lelaki yang bernama Dana itu menyentuh tangan Marau pelan, berusaha meyakinkannya.

Marau tidak bergeming.

“Sepertinya kapal yang akan kau tumpangi akan segera berangkat, haruskah kau berangkat sepagi ini? Ini masih terlalu dini,”ucap Marau.

“Tidak, fajar sudah berkata dengan terbukanya kelopak mata, lewat lembayung pagi kuning keemasan ia berkata, saatnya aku pergi. Melakukan tugasku dan kembali sebagai pria yang siap membawamu ke pernikahan. Semua ini untuk kamu, Marau.”

Dana memeluk Marau erat. Sesaat sebelum berangkat, Marau membisikkan sesuatu kepada Dana;

“Jika kau pulang nanti, bawa aku kembali ke Pulau Lengkuas, ya. Aku merindukan pasir di tepian mercusuar, juga wangi air laut yang menenangkan. Aku ingin kita bersama menikmati fajar hampir pagi dengan iring iringan gemulai kuning keemasan yang tercetak di sela-sela langit. Kamu mau kan?”

Dana memeluk Marau sekali lagi. ia menggangguk pelan. “Pasti, sayang,” lanjutnya.

Dan semilir angin dingin menghantarkan Dana pergi.

*

Tiga bulan kemudian

Aku mengarungi laut ini kembali memenuhi permintaan Marau. Wanginya masih sama. Masih serupa tidak memudar indahnya. Aku memandang tepian Pulau Lengkuas yang tetap menawan. Masih sama seperti 10 tahun silam..

Ia duduk disampingku. Kugenggam erat tanpa sedikitpun kulepaskan. Dia tersenyum. Sebentar lagi keinginannya akan tersampaikan. Keinginan tiga bulan yang lalu yang terucap di suatu pagi yang penuh dengan lembayung kuning keemasan, yang sempurna kita tatap bersama di tepian laut seberang. Ia hanya meminta permintaan sederhana.

“Jika kau pulang nanti, bawa aku kembali ke Pulau Lengkuas, ya. Aku merindukan pasir di tepian mercusuar, juga wangi air laut yang menenangkan. aku ingin kita bersama menikmati fajar hampir pagi dengan iring iringan gemulai kuning keemasan yang tercetak di sela-sela langit. Kamu mau kan?”

Aku menggangguk. Sama menggangguknya ketika kini aku menemani Marau kemari.

Keelokan mercusuar Pulau Lengkuas menyatakan selamat datang tanpa diminta, batu batu granit melebarkan tangan menjabat erat kedatangan kami berdua. Kala itu, sudah sempurna pagi. Biru muda cerah menari riang di sekitar cakrawala. Kita hampir sampai, sayang.

Aku memeluk Marau erat, ia sedang terlelap. Ia amat kedinginan selama perjalanan. Kurengkuh ia dengan jaket dari wol kesayangannya. Beranjak menepi ke tujuan kami berdua.

Kita sampai, Marau. 

Lihat mercusuar yang kau rindukan itu, wangi pantai yang selalu berhasil menenangkanmu, juga pasir putih yang selalu kau suka. Semua masih sama. Tidak berubah suatu apa.

Aku menggandeng Marau perlahan, memeluknya sekali lagi.

Menatap haru sebuah toples berisi abu Marau. Memenuhi permintaan terakhirnya.

Hari ini seharusnya jadi hari pernikahan kita, Marau sayang..


Selasa, 12 Juni 2012

kalimat anti malas.

-when you do nothing, only useless that you get-