Jumat, 26 Desember 2014

Waktu.

Sebuah waktu dari detik-detik yang biasa terabaikan itu mulai nampak menyudutkan perasaan. Ketika itu aku masih seringkali duduk semeja dengan kenangan, juga rindu-rindu menggelayut di gagang pintu belakang. Mengendap dan meracuniku perlahan.

Sebuah waktu itu mengumpulkan perasaan perasaan baru, mengepalkan telapak tangan dan mencuri sepertiga bagian dari pikiran yang seharusnya kupenuhi matamu. Namamu.

Nyatanya, waktu pulalah yang beranjak pergi. Meninggalkan seluruh jejak jejak kosong tak berpenghuni. Seluruh kenangan yang sudah basi untuk dipanaskan kembali.

Waktu. 
Waktu itu aku melihat senyummu dan betah-betah menyimpannya di mataku.

Sabtu, 13 Desember 2014

Melupakanmu.

Melupakanmu itu sulit, serumit aku mengingatnya kembali.

Sekian lama. Akhirnya aku menyadari bahwa melupakanmu itu sukar sekali.

Meskipun kini, dan (aku yakin) cerita kita memang sudah usai sekalipun tanpa harus kita akhiri.

Melupakanmu itu memang tak mudah. Tapi, ternyata berhasil melupakanmu adalah hal baik bagiku. Setidaknya, untuk hari hari depanku.

Dan semoga kamu juga begitu.

Tentang Mencintai dan Dicintai Lebih Dulu

Tentang mencintai dan dicintai lebih dulu.
Manakah yang lebih dahulu? 
Tentang rasa-rasa penasaran yang lekang terendap di dasar penantian.
Atau harap-harap pasti yang sedang dirajut masa depannya.

Ini aku. 
Yang mencintaimu lebih dulu.

Ini bukan soal siapa yang dahulu mengisi yang kosong.
Ini juga bukan perkara mudah menyudahi mana yang harus diabaikan.

Bagaimana apabila keduanya sama sama tak bisa terelakan?
Bagaimana jika salah satunya menuntut kesatuan?

Ini masih perihal antara yang mencintai dan dicintai lebih dulu.

Manakah yang kau pilih?


Yogyakarta, 13 Desember 2014