Judul Buku: Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis: Tere Liye
Tebal Buku: 426 Halaman
Penerbit: Republika
Cetakan ke 6 (Maret, 2011)
Tahun 2011 Ibu saya diberi hadiah sebuah buku Berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Saya pikir ini novel-novel sastra yang berat seperti di tumpukan lemari buku Ayah dan Ibu saya. Yang sulit di mengerti dan amat tersirat isinya. Pikiran skeptis seperti ini berubah ketika saya memulai membaca sinopsis di sampul belakang buku ini.
"Tutup mata kita. Tutup pikiran kita dari carut marut ke-hidupan. Mari berpikir takjim sejenak. Bayangkan saat ini ada satu malaikat bersayap indah datang kepada kita, lantas lembut berkata: "Aku memberikan kau kesempatan hebat. Lima kesempatan untuk bertanya tentang rahasia ke-hidupan, dan aku akan menjawabnya langsung sekarang. Lima pertanyaan. Lima jawaban. Apakah pertanyaan per-tamamu?""
Maka apakah kita akan bertanya: Apakah cinta itu? Apakah hidup ini adil? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup? Apakah mak-na kehilangan?
Di sini hanya ada satu rumus: semua urusan adalah sederhana.
Setelah membaca kalimat terakhir dalam sinopsis itu, penasaranlah saya, dan buku ini membuat saya tenggelam dalam fantasi seorang Tere Liye.
Siapa yang bakal membayangkan saat dirinya sedang kritis di rumah sakit, tua renta berpenyakitan, entah harapan hidupnya ada atau tidak, lalu tiba-tiba datang seseorang berwajah baik menghampirimu dan menawari sebuah perjalanan dengan lima buah pertanyaan dalam hidup yang akan langsung dijawab?
Tere Liye menjelaskannya dengan amat lugas. Dengan diksi yang apik dan perpaduan kata yang cantik. Alur dan kesinambungan satu bagian di bagian lainnya seperti potongan-potongan kehidupan yang saling menghubung satu sama lain. Seperti halnya kehidupan.
Saya pun juga punya pertanyaan dalam hidup. Banyak. Mungkin lebih dari lima. Dan seandainya malaikat benar-benar datang kepada saya, saya pasti kelimpungan ingin menanyakan yang mana. Tetapi, dari buku ini saya belajar satu hal yang amat penting: Kita manusia adalah bagian dari sebab akibat semesta yang amaaaat luas, dan segala tingkah laku dan perbuatan yang kita lakukan, akan berdampak pada orang lain. Dekat atau jauh, cepat atau lambat. Seluruhnya sudah terangkai pada poros yang kita tak bisa lihat. Terlalu rumit mungkin untuk diurai satu persatu.
Tokoh Ray yang hidupnya penuh carut marut, penuh dengan intrik masa lalu yang kelam. mengapa ia menjadi yatim piatu, mengapa ia dibesarkan di panti asuhan yang penjaganya membencinya setengah mati. Ia pun bertanya pada Malaikat itu. Apakah hidup ini adil?
Malaikat itu menjawab: "Ray, kehidupan ini selalu adil. Keadilan langit mengambil beberapa bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil? Hidup tidak adil?"
Kedua tentang kehilangan. Siapa yang tak sedih ketika kehilangan sesuatu atau seseorang dalam hidup? Butuh waktu untuk mengikhlaskan, butuh penerimaan. Tetapi Tere Liye menceritakan sebuah kehilangan dengan sisi yang berbeda. Dari Sisi yang ditinggalkan.
Tidak ada hal yang tidak ada alasannya. Termasuk mengapa orang-orang yang kita cintai pergi dari hidup kita. Seperti ketika Ray bertanya pada seseorang yang berwajah menyenangkan itu, mengapa Tuhan mengambil Istrinya sekaligus bayi dalam kandungannya.
Istri Ray pergi setelah sampai pada tujuannya: menjadi istri yang diridhai oleh suaminya, seburuk apapun masa lalunya, saat bersama Ray, Ia hanya ingin menjadi istri yang baik dan diridhai oleh Ray. Dan tepat saat ajal akan menjemput Istri Ray, Dia dalam keadaan terpenuhi tujuannya. Jadi Ia pergi dengan kedamaian dan kebahagiaan.
Klise memang, tapi menurut saya hal itu memang benar adanya. Saya jadi teringat Almarhumah Nenek saya, beberapa saat sebelum Beliau meninggal, beliau berkata:
"Aku bentar lagi mau pulang, sudah disiapkan semua di sana, sudah banyak yang mau menyambut di sana." Dan raut wajahnya berubah sumringah, seperti akan menghadiri hajatan meriah. Dan saya yakin ketika seseorang telah memenuhi tujuannya, maka kepergian bukanlah hal yang sulit dan penuh kesedihan. Setidaknya, itu dari sisi yang meninggalkan, bukan sisi yang ditinggalkan. Bagi saya, kehilangan adalah kebahagiaan yang dibungkus dengan bentuk yang tidak biasa, dan setiap kehilangan adalah pintu bagi bahagia-bahagia lain yang mungkin tidak kasat mata.
Lalu, tentang pilihan dalam hidup. Terkadang, (dan seringkali) kita berkata bahwa kita tidak memiliki pilihan dalam hidup. Sama sekali. Ini terjadi pada banyak orang. Padahal sebenarnya kita punya banyak pilihan, untuk memohon, untuk menerima, untuk bertanya. Tetapi kadang hal hal itu tidak kita lakukan dan terus mengutuk Tuhan dengan pilihan yang sebenarnya kita ciptakan tadi. Manusia kadang lupa, apa apa saja yang terjadi pada dirinya hanyalah sebab akibat dari apa apa yang dia lakukan di masa lalu, yang mungkin luput dari ingatan.
Buku ini cukup menohokkan saya dengan premis-premis yang memang dialami manusia-manusia pada umumnya. Mengeluh, mengutuk, tak bersyukur, masa bodoh dengan sekitar, ingin menang sendiri. Tanpa sadar kita lupa bahwa kita hidup berdampingan, kita memiliki orang lain yang pasti kita butuhkan bantuannya. Begitu pula sebaliknya. Buku ini mengingatkan kembali bahwa Tuhan tak pernah tidur. Tuhan selalu mengawasi tiap manusia dan tingkah lakunya, memberi kebajikan pada setiap yang selalu mensyukuri nikmat, dan memberi teguran pada setiap yang menyentuh dosa.
Lalu, mengapa Ray yang penuh dosa dalam hidupnya diberi kesempatan untuk diberi lima pertanyaan yang akan dijawab oleh seseorang yang berwajah menyenangkan itu? Jawabannya juga amat sederhana: karena tiap menatap bulan, Ray selalu tulus bersyukur, tak pernah mencaci Tuhan, dan khidmat seperti berbicara dengan Tuhan melalui bulan. Karena kesederhanaan itu, Ray mendapat kesempatan berharga itu.
Buku ini membuat saya paham bahwa memang seluruh urusan adalah sederhana. Sangat sederhana. Membuat saya sempat menangis dalam beberapa bagian dalam buku ini. Tentang ketulusan yang bahkan tidak disadari, tentang banyak hal baik yang sering kita lupa, dan terus mengingat hal yang tidak baik lalu mencaci Tuhan. Kita tidak pernah tau, seburuk apapun hidup kita, Tuhan akan menghargai sekecil apapun bentuk rasa syukur kita, Tuhan akan memberi kebaikan sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Tuhan tidak pernah lupa memberi balasan baik bagi Hamba-Nya yang menyebut namaNya.
Buku ini magis. Kata-katanya membuat saya lebih berhati hati dalam berucap, berdoa, dan bertindak. Kata-kata sederhana yang sampai pada hati saya.
Kita tidak pernah tau apa yang kita lakukan berdampak besar bagi hidup orang lain, kita juga tidak akan tau betapa hebatnya akibat dari perbuatan buruk yang kita lakukan.
Who knows?
-
Yogyakarta, 14 November 2013.