Selasa, 26 November 2013

Dalam Kejam Hujan



Hujan memetamorfosa ingat-ingat di pelupuk lalu menari dalam deras bersama awan-awan kelabu yang hinggap di atas kepalaku.di kala Petrichor bukan lagi alasanku betah berdiam di depan pintu, di saat gelap masih nyaman menggantung di langit-langit semesta.

Hujan membuatku malu. Ketika dengannya aku perpapasan dengan kenangan di persimpangan perpustakaan kota. Aku diam, kamu diam. Hujan bersikeras memaksaku berlama-lama di sana.

Hujan adalah kejam.

Dalam kekejaman tiap rintik yang dijatuhkannya, tiap bejana yang hancur satu-per-satu beriringan dengan bulir yang akhirnya terelakan.

Hujan masih kejam.

Dalam kotak-kotak berisi buncahan perasaan aneh menggelitik. Membuat susah tidur, membuat tak ingin lupa. – bersama hujan, Ia tak pernah benar-benar dihanyutkan.

Hujan akan tetap kejam;sampai yang lupa tak pantas diingatkan.

Pada Sepandang Tatapmu Di Sebuah Makan Malam Kita

Pada sebuah gemerlap yang bermuara matamu, aku meneduhkan suku-suku kata di ujung bibirku.

Kelu.


Serupa itu aku tak sanggup sekalipun berkata: jangan hunus aku dengan tatapmu.

Sajak Kebebasan.

Beberapa dari mereka bergegas merangkak, lalu meringkuk terjerembab pada lubang yang sama.

“Rasakan!” Kata salah satu dari mereka yang berhasil menyelamatkan diri – “Salah siapa masa lalu di bawa-bawa kembali,” ucapnya. 

Sabtu, 16 November 2013

Puisi-Puisi Penangkal Luka - Penyair Pembawa Harapan





Judul Buku: Empat Cangkir Kenangan
penulis: Bernard Batubara, Adimas Immanuel, Muhammad Irvan, Esha Tegar
Penerbit: Serba Indie, 2012

Buku puisi empat pemuda dari empat kota, salah satu buku favorit saya yang terkait postingan kemarin. Yang entah sudah di mana. Sebenarnya, yang paling membuat saya terkesan dengan buku ini, karena salah satu penulisnya, Adimas Immanuel, berpengaruh besar dalam kembalinya saya ke dunia kepenulisan puisi. 
seperti yang pernah saya tulis di sebuah postingan tentang dia, tahun 2010, fase-fase ujian nasional sekolah menengah atas dan memasuki dunia baru perkuliahan yang sangat jauh dari dunia sastra (karena saya masuk jurusan manajemen) setelah hampir setahun fokus untuk ujian dan sebagainya, saya merasa ada writers block yang membuat saya tidak bisa-benar-benar tidak bisa menulis puisi lagi. entah kenapa. mencoba, mencoba, mencoba, tapi gagal. selalu begitu.

Suatu ketika, timeline twitter saya ada retweet-an sajak dari dia. waktu itu, perlahan, dari lini masa twitter dan update-an blog kawahluka-nya membuat sedikit demi sedikit kepekaan saya tentang puisi kembali. dari sekian banyak akunn twitter yang ada dan membuat saya terkagum, dia-lah yang paling menginspirasi. sampai sebuah hari di bulan september tahun lalu, peluncuran buku empat cangkir kenangan ini diadakan di jogjakarta, dan hanya dihadiri oleh dua penulisnya, yaitu bernard batubara dan adimas immanuel. bagaimana reaksi saya waktu itu? SUPER EXCITED! seperti ngefans sama artis idolanya, saya-pun. dengan malu-malu saya menyodorkan buku ini ke dimas dan meminta tanda-tangannya. kami bercakap sebentar, saya memberikannya sebuah draft buku puisi pertama saya, dan dia adalah salah satu motivasi saya menulis puisi, membuat buku puisi.

sederhananya, puisinya membuat saya kembali menjadi saya seutuhnya. puisinya serupa obat penyembuh luka. membuat saya kembali bisa menulis rangkaian kata-kata lagi, membuat saya tidak cukup hanya membaca bukunya sekali. takjub. puisinya sangat magis dan berima sangat indah. 

Seperti yang saya ceritakan pada postingan sebelumnya, meskipun buku ini sudah berada di entah, tetapi betapa beruntungnya saya kehilangan buku yang amat berharga itu, membuat saya bisa bertemu penulis kesayangan saya akhir bulan ini, dalam launching buku puisi tunggalnya. Dengan itu membuat saya terpacu untuk cepat-cepat merampungkan buku puisi pertama saya. Semoga secepatnya :)

Jumat, 15 November 2013

Sebuah Buku: Perantara Pertemuan, Penjemput Kehilangan.


Judul Buku: Been There, Done That, Got The T-shirt.
Penulis: Risyiana Muthia
Visual: Emeralda
Penerbit: Gramedia
Julmlah halaman: 124

*

Yogyakarta, Agustus 2013

Sebuah kedai kopi, siang hari, sebuah pertemuan yang (mungkin) seharusnya tidak pernah ada. (seharusnya) Kita bertemu di tempat favoritku, sebuah tempat yang penuh buku, tempat yang selama ini ingin sekali aku tunjukkan padanya, tempat itu. Sayangnya, hari itu tempat yang kumaksut belum beroperasi secara normal paska libur panjang hari raya lalu. Kami ke toko buku setelah itu. Berkeliling mencari buku, melihat-lihat, dan dia ( yang domisilinya sama persis dengan daerah asal Mas Irwan Bajang) berkata banyak tentang buku. "Buku ini bagus, lho", katanya. "Ah, bukunya terlalu berat, aku nggak suka," ucapku singkat. Dia menunjuk beberapa judul buku yang sama sekali tidak aku pahami. Setelah itu, kami pergi ke kedai kopi ini. Mencari penjabaran.


Kita tidak pernah tau, kapan sejatinya sebuah pertemuan itu akan bertaut, atau bahkan bertemu perpisahan. Kita tidak pernah tau. 

Secangkir hazelnut panas dan cappucino dingin berada di meja kami. Berbincang seolah-olah tidak terjadi apapun. Seolah-olah, tidak ada hati yang saling berkecamuk di dalam lubuk masing-masing. Sampai kita berbicara tentang hal-hal yang tidak kumengerti. Aku mencari penjelasan, Kau tidak memberiku jawaban. Begitu seterusnya. Aku tak paham. Kau mungkin menyimpan kenangan. Aku mengeluarkan sebuah buku favoritku. Kau mengeluarkan buku ini. Buku bercover kuning-hijau cerah yang judulnya aneh. Sebuah idiom. dan membuatku tertarik pada kalimat di bawah judul: Semua hal yang perlu kamu tau untuk bisa HIDUP-SEHIDUPNYA!

Kita bertukar buku. Buku ini habis kubaca tak kurang dari satu jam. buku yang menarik, berisi visual dan informasi-informasi sederhana tentang bagaimana hidup sehidup hidupnya. Hal hal yang terkadang kita lupa, hidup tidak hanya tentang mengejar pencapaian, tapi bagaimana kita menikmati hidup selayaknya anugrah kehidupan yang tidak pernah terulang. Seperti kita. Seperti yang pernah kita ada. Sebelumnya.

Buku ini adalah sebuah perantara perjumpaan, antara aku, kau, dan serpihan masa lalu yang masih menggantung di genggam telapak kita, tersisa. Entah enggan menyisa, atau sengaja tak menyeka. Seperti setelahnya, adalah kepergiaan yang (pernah) menyebabkan aku heran tak habis pikir, karena menyadari bahwa ketika buku ini berada di tanganku, kehilangan menjemputmu dari aku. Bersama buku favoritku. Entah kau menghampiri kehilangan dan berjalan bersama sama meninggalkan aku, entahlah. Meskipun aku tak pernah menemukan penjelasan, tapi aku menemukan cara menghidupkan hidup lewat buku-mu.

Seratus dua puluh satu hari yang lalu, sebuah buku mengenai hidup sehidup-hidupnya membawa kenangan yang sekarang sudah bosan hidup. Ia pergi bersama kehilangan.

Ia berkata, aku ingin hidup-sehidup-hidupnya, menikmati sisa hidup dengan mengurai kehilangan dengan melakukan hal-hal yang dianjurkan pada buku BTDTGTTS, untuk menikmati kehidupan, menjemput mimpi dan membuat hidup lebih berarti. meskipun tetap. Buku ini milikmu. 

*

Nb: Seratus dua puluh satu hari yang lalu, dia bilang akan mengembalikan buku favoritku, dan aku tak pernah merelakan buku berharga itu benar-benar pergi dan tak kembali, tapi yasudahlah. bersama postingan ini saya ikhlaskan buku itu. Tolong di jaga ya :)

Yogyakarta, 15 November 2013

Kamis, 14 November 2013

Transformasi Magis Kata dari Tere Liye


Judul Buku: Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis: Tere Liye
Tebal Buku: 426 Halaman
Penerbit: Republika
Cetakan ke 6 (Maret, 2011)



Tahun 2011 Ibu saya diberi hadiah sebuah buku Berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Saya pikir ini novel-novel sastra yang berat seperti di tumpukan lemari buku Ayah dan Ibu saya. Yang sulit di mengerti dan amat tersirat isinya. Pikiran skeptis seperti ini berubah ketika saya memulai membaca sinopsis di sampul belakang buku ini.

"Tutup mata kita. Tutup pikiran kita dari carut marut ke-hidupan. Mari berpikir takjim sejenak. Bayangkan saat ini ada satu malaikat bersayap indah datang kepada kita, lantas lembut berkata: "Aku memberikan kau kesempatan hebat. Lima kesempatan untuk bertanya tentang rahasia ke-hidupan, dan aku akan menjawabnya langsung sekarang. Lima pertanyaan. Lima jawaban. Apakah pertanyaan per-tamamu?""

Maka apakah kita akan bertanya: Apakah cinta itu? Apakah hidup ini adil? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup? Apakah mak-na kehilangan?


Di sini hanya ada satu rumus: semua urusan adalah sederhana.

Setelah membaca kalimat terakhir dalam sinopsis itu, penasaranlah saya, dan buku ini membuat saya tenggelam dalam fantasi seorang Tere Liye.

Siapa yang bakal membayangkan saat dirinya sedang kritis di rumah sakit, tua renta berpenyakitan, entah harapan hidupnya ada atau tidak, lalu tiba-tiba datang seseorang berwajah baik menghampirimu dan menawari sebuah perjalanan dengan lima buah pertanyaan dalam hidup yang akan langsung dijawab?

Tere Liye menjelaskannya dengan amat lugas. Dengan diksi yang apik dan perpaduan kata yang cantik. Alur dan kesinambungan satu bagian di bagian lainnya seperti potongan-potongan kehidupan yang saling menghubung satu sama lain. Seperti halnya kehidupan.

 Saya pun juga punya pertanyaan dalam hidup. Banyak. Mungkin lebih dari lima. Dan seandainya malaikat benar-benar datang kepada saya, saya pasti kelimpungan ingin menanyakan yang mana. Tetapi, dari buku ini saya belajar satu hal yang amat penting: Kita manusia adalah bagian dari sebab akibat semesta yang amaaaat luas, dan segala tingkah laku dan perbuatan yang kita lakukan, akan berdampak pada orang lain. Dekat atau jauh, cepat atau lambat. Seluruhnya sudah terangkai pada poros yang kita tak bisa lihat. Terlalu rumit mungkin untuk diurai satu persatu.

Tokoh Ray yang hidupnya penuh carut marut, penuh dengan intrik masa lalu yang kelam. mengapa ia menjadi yatim piatu, mengapa ia dibesarkan di panti asuhan yang penjaganya membencinya setengah mati. Ia pun bertanya pada Malaikat itu. Apakah hidup ini adil?

Malaikat itu menjawab: "Ray, kehidupan ini selalu adil. Keadilan langit mengambil beberapa bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil? Hidup tidak adil?"


Kedua tentang kehilangan. Siapa yang tak sedih ketika kehilangan sesuatu atau seseorang dalam hidup? Butuh waktu untuk mengikhlaskan, butuh penerimaan. Tetapi Tere Liye menceritakan sebuah kehilangan dengan sisi yang berbeda. Dari Sisi yang ditinggalkan.

Tidak ada hal yang tidak ada alasannya. Termasuk mengapa orang-orang yang kita cintai pergi dari hidup kita. Seperti ketika Ray bertanya pada seseorang yang berwajah menyenangkan itu, mengapa Tuhan mengambil Istrinya sekaligus bayi dalam kandungannya.

Istri Ray pergi setelah sampai pada tujuannya: menjadi istri yang diridhai oleh suaminya, seburuk apapun masa lalunya, saat bersama Ray, Ia hanya ingin menjadi istri yang baik dan diridhai oleh Ray. Dan tepat saat ajal akan menjemput Istri Ray, Dia dalam keadaan terpenuhi tujuannya. Jadi Ia pergi dengan kedamaian dan kebahagiaan.

Klise memang, tapi menurut saya hal itu memang benar adanya. Saya jadi teringat Almarhumah Nenek saya, beberapa saat sebelum Beliau meninggal, beliau berkata:
"Aku bentar lagi mau pulang, sudah disiapkan semua di sana, sudah banyak yang mau menyambut di sana." Dan raut wajahnya berubah sumringah, seperti akan menghadiri hajatan meriah. Dan saya yakin ketika seseorang telah memenuhi tujuannya, maka kepergian bukanlah hal yang sulit dan penuh kesedihan. Setidaknya, itu dari sisi yang meninggalkan, bukan sisi yang ditinggalkan. Bagi saya, kehilangan adalah kebahagiaan yang dibungkus dengan bentuk yang tidak biasa, dan setiap kehilangan adalah pintu bagi bahagia-bahagia lain yang mungkin tidak kasat mata.


Lalu, tentang pilihan dalam hidup. Terkadang, (dan seringkali) kita berkata bahwa kita tidak memiliki pilihan dalam hidup. Sama sekali. Ini terjadi pada banyak orang. Padahal sebenarnya kita punya banyak pilihan, untuk memohon, untuk menerima, untuk bertanya. Tetapi kadang hal hal itu tidak kita lakukan dan terus mengutuk Tuhan dengan pilihan yang sebenarnya kita ciptakan tadi. Manusia kadang lupa, apa apa saja yang terjadi pada dirinya hanyalah sebab akibat dari apa apa yang dia lakukan di masa lalu, yang mungkin luput dari ingatan. 

Buku ini cukup menohokkan saya dengan premis-premis yang memang dialami manusia-manusia pada umumnya. Mengeluh, mengutuk, tak bersyukur, masa bodoh dengan sekitar, ingin menang sendiri. Tanpa sadar kita lupa bahwa kita hidup berdampingan, kita memiliki orang lain yang pasti kita butuhkan bantuannya. Begitu pula sebaliknya. Buku ini mengingatkan kembali bahwa Tuhan tak pernah tidur. Tuhan selalu mengawasi tiap manusia dan tingkah lakunya, memberi kebajikan pada setiap yang selalu mensyukuri nikmat, dan memberi teguran pada setiap yang menyentuh dosa.

Lalu, mengapa Ray yang penuh dosa dalam hidupnya diberi kesempatan untuk diberi lima pertanyaan yang akan dijawab oleh seseorang yang berwajah menyenangkan itu? Jawabannya juga amat sederhana: karena tiap menatap bulan, Ray selalu tulus bersyukur, tak pernah mencaci Tuhan, dan khidmat seperti berbicara dengan Tuhan melalui bulan. Karena kesederhanaan itu, Ray mendapat kesempatan berharga itu.

Buku ini membuat saya paham bahwa memang seluruh urusan adalah sederhana. Sangat sederhana. Membuat saya sempat menangis dalam beberapa bagian dalam buku ini. Tentang ketulusan yang bahkan tidak disadari, tentang banyak hal baik yang sering kita lupa, dan terus mengingat hal yang tidak baik lalu mencaci Tuhan. Kita tidak pernah tau, seburuk apapun hidup kita, Tuhan akan menghargai sekecil apapun bentuk rasa syukur kita, Tuhan akan memberi kebaikan sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Tuhan tidak pernah lupa memberi balasan baik bagi Hamba-Nya yang menyebut namaNya. 

Buku ini magis. Kata-katanya membuat saya lebih berhati hati dalam berucap, berdoa, dan bertindak. Kata-kata sederhana yang sampai pada hati saya.

Kita tidak pernah tau apa yang kita lakukan berdampak besar bagi hidup orang lain, kita juga tidak akan tau betapa hebatnya akibat dari perbuatan buruk yang kita lakukan. 

Who knows?

-

Yogyakarta, 14 November 2013.

Rabu, 13 November 2013

Meteor dan Visualisasi Mimpi



METEOR

" Meteor akan terus berpijar, melesak dan menjelajah cakrawala, menembus malam, melampaui waktu dan dimensi, mengurai pekat, hingga masa menghantar ke peraduan. Terus berproses! "

Kata kata di atas adalah kutipan dari pengantar sang editor dalam buku Antologi Puisi Bengkel Sastra 2008 oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Berisi karya 28 siswa SMA se-Yogyakarta yang telah mengikuti pelatihan selama sepuluh minggu dengan pengajar yang mumpuni di bidangnya tentang bagaimana memproses puisi sebagai sebuah karya sastra. 

Mengapa buku ini berarti untuk hidup saya?

Karena dari buku setebal 102 halaman ini, upaya saya dalam dunia tulis menulis khususnya puisi akhirnya menemukan langkah pertamanya. Bak bayi yang baru lahir dan menemukan tempat berpijak, selama sepuluh minggu mengikuti pelatihan ini, saya menemukan jejak kaki mungil yang siap menghiasi kertas-kertas kosong dengan rangkaian kata-kata dalam puisi.

Saya baru menginjak usia enam belas tahun kala itu, ditawari oleh ibu saya yang mana sekaligus guru bahasa Indonesia di sekolah saya. Saya memang menyukai puisi, sama seperti saya jatuh cinta pada puisi Sapardi Djoko Damono. Tetapi, namanya juga amatir, puisi puisi saya memang belum mahir, jauh dari indah seperti penyair- penyair yang saya kagumkan. Meskipun sampai kini puisi saya masih belum sehebat mereka, yang penting proses kreatif dan rasa dalam menulis tiap puisi itu. Lalu akhirnya saya menyetujui untuk ikut pelatihan ini, dan ternyata bukan main banyaknya manfaat yang saya dapat selama berada di Bengkel Sastra 2008, selain kita bisa belajar tentang proses kreatif penulisan puisi, kita juga diberi uang saku tiap akhir sesi pelatihan. Luar biasa sekali bukan? Dan uang saku tersebut hampir setara dengan uang saku saya selama seminggu kala itu x))

Buku ini tercipta dari rangkaian usaha dan semangat kami, 28 siswa yang sama sama mencintai dunia puisi. Di dalam buku ini, ada jerih dan keringat kami curahkan, juga curahan hati yang turut andil dalam proses pembuatan buku ini. Buku ini lebih dari sekedar berarti, buku antologi pertama saya, dan jelas bukan yang terakhir.

Berikut adalah dua dari tiga puisi saya yang masuk dalam buku Meteor:



Pencarian

Siluet kelabu terasing jelaga
Mengintip
Dari bilik balik pujangga
Mendekat
Berbisik
: di manakah dia?


Lentera Kenyataan

Cahaya-cahaya kecil yang terbang terbawa kunang-kunang
Di balik ilalang padang yang menjulang mengembang
Menemani hasrat suci yang kini sepi
Menunggu pagi
Menunggu pagi

Titik-titik berwarna kuning keemasan itu
Berkumpul
Berkeliling
Di tepian relung sukma
Menjelma menggema
Mengembang terbang

Lentera kenyataan masuk di balik jengkal jejakmu
Menunggu pagi
Menunggu pagi


Bagian lucu dari terbitnya buku ini, adalah ketika ada seorangpenelepon tak dikenal menelepon dan berkata ia menyukai puisi-puisi saya. Saya cukup terkejut karena belum pernah ada yang seperti ini sebelumnya. Tapi di sisi lain ada kebanggaan tersendiri atas diri saya karena karya saya dapat diterima dengan baik. Dan saya amat bersyukur akan itu :')  

Hingga kini, hawa dari meteor yang terus berputar menjelajah semesta dalam diri saya untuk tidak berhenti berkarya menembus langit, hingga tiada waktu tetsisa untuk menyisakan ruang menulis sebuah puisi.

Selasa, 12 November 2013

Inti Semesta dan Kesederhanaan Rahasia


Lima tahun. Lima tahun yang lalu, saya membaca buku ini, dengan momen kandasnya sebuah hubungan percintaan remaja klasik yang di dasari perbedaan keyakinan dan embel embel lainnya. Berbekal buku pinjaman teman, selama beberapa hari saya besebenengan sebab akibat, rasa syukur, menerima dan semesta. 

Seorang remaja berumur tujuh belas tahun yang masih harus banyak belajar selain belajar bagainana menyembuhkan luka pada patah hati. Tapi justru luka itu membawa saya pada buku ini dan keajaiban keajaiban yang terjadi setelah itu.

Hukum sebab akibat dan kesinanbungan antara rasa syukur akan mengakibatkan energi positif dalam diri kita dan dapat mengirimkan sinyal sinyal positif pada semesta di alam bawah sadar kita. Sebelumnya saya masih tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup, tentang seperti apa saya di kemudian harui atau sesungguhnya cita cita saya. Secara tidak langsung, titik titik temu dari tiap tiap tanda semesta itu datang dan membentuk garis yang dapat di baca.

Buku ini adalah perantara saya menemukan diri saya kembali, menjadi pribadi yang penuh doptimisme, percaya diri dan yakin atas kemampuan yang saya miliki. Saya menjadi terbiasa dengan daftar-daftar target, harapan, dan keinginan saya lalu menuliskannya setiapbulan, semester, bahkan yang jangka tahunan. Hingga sekarang saya sangat bersyukur bahwa bagaimana kita mengelola rahasia rahasia alam bawah sadar kita adalah hal penting untuk membuat hidup kita lebih berkualitas.

Kekuatan semesta itu memang benar-benar ada, dalam diri setiap manusia. Serupa apa yang terlintas dalam benak saya setelah selesai membaca halaman terakhir buku ini: lima tahun dari sekarang aku harus menerbitkan sebuah buku karanganku.
Dan sebentar lagi, hal itu bukanlah ingin ingin belaka lagi :)