Minggu, 22 April 2012

Catatan Bidadari Surga

15 April 2006
Hujan mengguyur April. Hey, ada kesalahan pergantian musim disini. Tapi memang sesuatu kadang tak berotasi pada masanya, kan? Bukankan begitu esensi dari setiap kehidupan? Tidak semua sama seperti yang terharapkan, tidak semua seperti yang diinginkan. Tidak tentu, mungkin semesta saja yang tahu alurnya.

Seperti tiap skenario yang Tuhan cipta dan bagikan kepada setiap umatnya, tidak bisa meminta, tidak bisa memaksa. Tugas kita hanya menjalani dan mengikuti tiap alur dan episode Tuhan. Tak ada guna mengeluh, toh, hidupmu tak akan menjadi lebih baik kalau kau menyumpah serapahi hidupmu. Percuma. Hanya saja, Tuhan meminta kita untuk berdoa, memohon karuniaNya, memohon pertolonganNya, memohon ijabahNya. Dan dengan sendirinya, keajaiban itu ada.

28 April 2007
Umurku sekarang 18 tahun, mungkin. Mungkin? Iya mungkin, aku tak tahu kapan persisnya aku lahir. Ibuku tidak pernah berkata padaku. Tentu saja begitu, mengingat rupa ibuku saja aku tak tahu. Ingin mencari tau? Aku tidak punya banyak waktu. Bukan karena aku tidak peduli. Bagiku, lebih baik melanjutkan sisa hidup kini daripada sibuk mencari dan mengaduk-aduk apa yang sudah seharusnya ada di belakang, dan tentu akan menyita waktu untuk masa depanku. Sudah cukup kusita waktuku dengan berbagai pertanyaan tak terjawabku, aku sudah jengah dengan semuanya, dan kuputuskan untuk melupakannya.

1 April 2008
Aku mengenal dia. Iya. Dia. Bukan seperti malaikat yang turun dari langit memang, tapi ia cukup sederhana untuk menjadi yang teristimewa. Aku merasa teramat tinggi di matanya. Ia memberikan aku cahaya yang dapat kuggenggam dengan ke-abu-abu-an yang sering mengiang di siang malamku. Inikah ijabah doa dari tiap malamku, Tuhan? Beri aku sedikit tanda untuk meyakininya. Beri aku kemantapan hati dan keteguhan untuk menjadikannya yang utama. Menjadi imamku.

2 April 2009
Kau memberiku tanda itu, Tuhan. Setelah halang rintang kisah kekasih kami, Ia melamarku malam itu, malam gerimis yang amat syahdu. Aku amat menyukainya, mengenggam aromanya dan memeluknya erat. Semoga semesta merestui batin kami, semoga keberkahan selalu mengiringi kami. Amin.

21 April 2009
Hari penuh haru, hari penuh suka cita, dan duka pada saat yang sama. Kami baru saja meresmikan hubungan pernikahan kami berdua. Tetapi, pada hari yang sama, Ia bertengkar hebat dengan keluarganya. Orang tuanya tidak menyukaiku. Aku teramat sedih, tapi aku tidak tau. Sungguh. Menceritakannya padaku saja ia tidak pernah, apalagi bertanya. Aku selalu ingin menghormatinya. Apakah aku berdosa karena aku ia akan terusir dari keluarganya, Tuhan? Apakah aku harus mengembalikan ia kepada keluarganya, Tuhan? Atau aku saja yang pergi dari kehidupannya? Entahlah. Aku mencemaskannya. Sangat. Tetapi Ia justru yang begitu setia dan berkata, “aku ingin menjalani sisa hidupku bersamamu, sayang. Maafkan aku tidak menceritakan ini kepadamu, hanya saja aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku baik baik saja dan kita akan baik baik saja.”
Sebuah kalimat luar biasa yang membuatku begitu yakin tidak salah menentukan seorang imam dan ayah untuk anak anakku kelak. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan pernah mengeluh dan selalu menuruti apa katanya. Aku akan selalu mencoba menjadi istri yang patuh dan diridhoi suamiku. Sampai suatu hari dimana aku harus menyelesaikan tugasku di dunia fana ini. Bismillahirrahmanirrahim.

11 April 2010
Sesungguhnya tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat seorang suamiku bersedih. Karena aku pula. Sungguh. Aku juga tidak kalah sedih ketika mengetahui, janin dalam kandunganku gugur. Bagaimana rasanya calon anak pertama kita meninggal sebelum kelahirannya. Aku tau kau sedih, sayang. Aku juga tau kau kecewa pada istrimu yang lalai dan tidak mendengarkan nasihatmu untuk beristirahat. Hanya saja aku ingin selalu membahagiakanmu dengan hasil jerihku. Aku ingin kau selalu bangga padaku. Dan ridho atas apa yang aku lakuka untukmu. Tetapi, aku keliru. Seharusnya aku mendengarkan nasihatmu. Seharusnya aku tidak menyela perkataanmu saat kau memintaku untuk tidur lebih cepat. Seharusnya aku… maafkan aku suamiku, maafkan aku Tuhan. Maafkan aku.

17 April 2011
Saat terakhir kali membuatmu bersedih, setahun yang lalu. Kini, setahun kemudian, aku masih belum dihadirkan buah hati seperti yang kau inginkan sayang. Saat mendengar suaramu tiap kau pulang kerja larut malam, aku ingin berbincang denganmu, tapi aku tau kau lelah. Aku tau kau sedang banyak urusan. Aku diam. Meskipun begitu aku tidak ingin mengeluh. Selalu kucoba untuk tersenyum saat kau lelah bekerja, membawakan tasmu, mengusap wajahmu dan mencium pipimu. Aku ingin menjadi istri yang baik bagimu dan ibu yang baik bagi anak-anakmu kelak. Semoga kau selalu meridhoiku, suamiku.

1 Apri 2012 07.00 malam
Sesungguhnya, Tuhan bersama orang orang yang tidak lelah memohon padanya. Siapa sangka Tuhan Maha Baik mengirimkan pesan singkat sederhana lewat mual mualku beberapa bulan yang lalu. Aku hamil lagi. Kini menginjak bulan ke sembilan. Aku teramat sangat menjaganya. Aku tidak ingin sesuatu menghalangi kelahiran anak ini. Aku, sungguh sungguh ingin memberikan buah hati tercinta untuk suamiku, imamku. Supaya dia tidak lagi kecewa padaku. Supaya ia tidak lagi bersedih saat kehilangan anak pertamanya, dulu.

Malamku tidak senyaman biasanya. Aku tidak ingin duduk menonton teve dengan acara komedi kesukaanku, aku juga tak ingin tidur. Tidak seperti biasanya. Suamiku juga belum sampai dirumah, aku hanya terdiam tanpa apa. Mencoba mereka beberapa masa silam, mencoba menyibak sejuta masa lalu yang terendap. Mencoba mengingat ibu, mengingat ayahku yang juga ku tak tahu dimana. Menggapai beberapa kebahagiaan yang terenggut, mencoba bersuara, tak bisa. Aku mencoba, tak bisa. Aku menunduk kemudian. Bukan saatnya untuk bersedih sedih karena takdirmu tidak baik, bukan? Bukan seperti itu mensyukuri nikmat Tuhan. Bukan dengan mencaciNya, memaki ketika permohonan kita tak kunjung datang, atau bahkan mengingatNya saja saat kita terjatuh. Memang, aku belum begitu taat dan menjadi wanita sholihah sepenuhnya, tapi aku diajarkan oleh dunia yang tidak tentu guratannya, dari orang lalu lalang dan penuh cerita serupa atau bahkan berbeda, untuk menjadi seorang yang berguna. Berguna untuk apapun, sekecil apapun itu. Berguna untuk Tuhanku, diriku, hidupku, masadepanku, suamiku, dan anak dari rahimku. Sepertinya tujuan hidupku yang terakhir sebentar lagi terlaksana.

Pukul 10.00 malam.
Buku ini penuh, tulisan carut marut semejak 6 tahun yang lalu tertoreh, terlintas untuk membuka lembarnya satu-satu, menatap hangat, mengharukan sejenak, lalu tersenyum penuh kebanggaan, siapa lagi kalau bukan karena suami terhebat yang kupunya. Ia tidak pernah menanyakan barang sejenak tentang masalaluku, keadaanku, hidupku dulu. Aku juga tidak bermaksut menutupi darinya. Yang aku tau, ia selalu berkata padaku, “tidaklah penting apa masa lalumu, bagaimana keadaanmu, atau seburuk apa kisahmu dulu. Setiap orang pasti memiliki masa terburuknya dalam hidup, tetapi yang terpenting bagaimana seorang itu bangun dan membangun masa depannya kembali utuh.”
Aku selalu menangis mendengarnya dan berjanji pada diriku untuk tetap setia membangun masa depanku kini, bersamanya.
Kututup halaman buku terakhirku, sudah selesai. Sepertinya aku harus beranjak tidur. Disusul dengan bunyi pintu depan terbuka, suamiku sudah pulang, rupanya.
Aku mencoba berdiri, meraih gagang kursi, secara tak sengaja buku buku suamiku terjatuh. Saat mencoba merapikannya, ada satu kertas terselip. Kubuka, dan kubaca dalam hati. Sebuah tulisan singkat dari tangan suamiku sendiri.

Dear, Tuhan. Aku sungguh mencintai istriku apa adanya. Hanya saja beberapa masa aku sedikit, ingin mengeluh. Terlebih ketika aku tidak mengerti apa yang dimaksutkannya. Aku tau dia bisu, Tuhan. Aku mencoba untuk tetap baik baik saja di depan rautnya yang menyenangkan itu, hanya saja terkadang aku.. lelah. Oh Tuhan aku sungguh tidak tahu, terkadang memengertikannya sangat sulit kuterjemahkan, itulah sebabnya aku sering pulang larut, aku hanya tidak ingin membuat istriku kecewa dan bersedih. Sungguh. Semoga rasa kejenuhanku yang aneh ini segera musnah. Aku sungguh mencintai dia, apa adanya.

Aku kuyu seketika. Ada rasa tercengang, dan setengah terguncang. Aku.. tidak pernah tau, bahwa dimatanya aku…. Apakah aku merepotkannya? Apakah aku telah berdosa padanya? Aku menangis sejadinya. Sesaat setelah mencoba berdiri dan mencoba menemui suamiku yang baru saja tiba, ada kontraksi sangat menakjubkan mengguncang perutku. Sakit. Sakit sekali. Sebelum sempat menemui suamiku, aku terjatuh.
***
Saat ku tersadar, aku telah dioperasi. Aku nanar menatap cahaya terang lampu operasi. Bayiku? Bagaimana bayiku? Aku haya bisa berteriak dalam hati. Beberapa saat kemudian, suamiku tiba, dengan bayi perempuan mungil yang cantik. Aku hampir tak percaya ia sudah lahir. Aku bahagia. Teramat.
aku menangis, menangis sejadinya. Suamiku heran.
“Mengapa kau menangis, sayangku? Tidakkah kau bahagia anak kita lahir dengan sempurna?”
Aku mengangguk. Pasti sayang. Aku sangat bahagia. Aku berkata dalam hati. Lalu menunjukkan raut bahagia, tetapi… aku mencoba meraih buku usang milikku. Lalu mencoba mengeluarkan kertas semalam. Aku menunjukkannya pada suamiku, menangis, dan memohon ampun atas perbuatanku ketika aku mengecewakannya. Dengan bahasa isyarat, kami berbicara.
Suamiku sangat terkejut. Bagaimana bisa aku menemukan kertas tersebut. Ia tidak menyangka. Sungguh. Aku mencoba menuliskan sesuatu di sana.
“Aku sungguh minta maaf jika aku tidak cukup membahagiakanmu dengan segala kekuranganku, maafkan aku sayang. Maafkan aku.”
Ia memelukku, memeluk tubuhku yang lemas, lalu menggenggam tanganku yang terkulai. Aku tersenyum tipis. Sejenak aku menunjuk buku usangku, memberikan padanya, dan berkata, “Aku sungguh bahagia menjadi bagian dari hidupmu, sayang. Semoga pintu surga kelak dibukakan untuk Imam sebaik kau. Terimakasih.”
***
Istriku menghembuskan nafas terakhirnya, sesaat setelah mengatakan beberapa patah kata terakhirnya. Sungguh tercengang. Aku tida menyangka ia pergi secepat itu. Meninggalkan aku dan buah hati kecil yang baru saja dilahirkannya. Aku mencintaimu sayang.
Keesokan paginya, aku membaca buku milik istriku, semenjak kami menikah, aku memang tidak ingin mengusik kesukaanmu menulis disitu, meski aku memang penasaran, tapi aku yakin ada masanya kapan aku harus membaca buku ini.

Kubuka halaman satu demi satu, hingga ke halaman itu, sesaat sebelum kau melahirkan, sebelum meninggal. Tidak ada yang dapat kukataan. Aku pun membisu dalam kebisuan. Aku sangat tidak menyangka bagaimana kehidupanmu dulu, bagaimana penderitaanmu dan kisahmu dimasa lalu. Bagaimana kau berkutat dengan kejam kehidupanmu yang bahkan berbicara pun kau terengah. Tidak, kau tidak bisu, suaramu selalu nyaring di telingaku sayang. Aku sungguh menyesal telah mengecewakanmu dengan keluhanku yang urakan itu. Seharusnya aku tidak berbuat seperti itu, seharusnya aku tidak membuatmu bersedih disaat hari terakhirmu ada di dunia sayang. Aku minta maaf.
Maaf yang sungguh percuma bukan? Aku hanya dapat tersungkur di depan papan namanya. Menangis. Memohon ampunan Nya.

Sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Dia hanya sebagian dari siklus sebab akibat yang tidak terlewat begitu saja, oleh karena dia, menjadi sebab bagi kehidupanku selanjutnya yang lebih baik, terlebih saat hujan mengguyur pusaranya ketika tanah merah selesai menimbun jasadnya. Tangisan para malaikat yang mengiringi kedatanganmu. Kau istri yang baik, Tuhan pasti senang kau datang, sayang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar