Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja



Palembang, Aku datang.

Empat tahun menyeselaikan studiku di negara tetangga selesai sudah. Kini aku kembali menapaki kota lamaku. Tempatku melabuhkan pusat-pusat penantian dan harapan yang kusimpan rapat-rapat. Tempat dimana ada gadis yang selalu mengharapkanku pulang tanpa pernah memaksa.

Ia juniorku di sekolah menengah atas dulu. Pertemuan kami berawal dari lomba fotografi tentang keindahan Sungai Musi. Aku ingat, wajahnya yang berkilau diantara sinar surya dan senja yang mengembang sempurna di atas kepalanya saat mencoba membidik foto Jembatan Ampera dari tepian Musi membuat wajahnya makin cantik. Seperti bidadari yang turun dari khayangan, indah dan bercahaya.

Dan siapa sangka dari lomba tersebut kami semakin dekat dan dekat, sampai suatu ketika aku memutuskan untuk menyatakan cinta, tepat dari tepian Sungai Musi yang sedang menjingga. Sebelum matahari sempat menenggelamkan jejaknya, Gadis itu berkata, iya.

Di tepian senja Sungai Musi cinta kita bersemi, tumbuh dan berkembang sempurna.


*

Ah, betapa rindu ini semakin tidak terkendali. akhirnya jarak yang menjemukan itu kini hilang, dan tidak ada lagi yang dapat menjadi sekat dari banyak peluk, kecup dan terendap dimakan masa masa basi. Aku harus segera menemuinya.

Sebuah pesan singkat terkirim untuk dia;

"Hai sayang, aku sudah kembali ke Palembang lho, ketemu yuk :)"

Setengah jam kemudian balasan tiba.

"Hei :) Boleh, sore ini di tepi sungai Musi jam lima sore. Bagaimana?"

"Oke, see you then :*" aku menjawab singkat. Tetapi rasanya begitu membuncah. Akhirnya, aku bertemu dia. Setelah sekian lama.


*

16.20 Wib

Aku bergegas merapikan baju yang kukenakan, dan mempersiapkan sebuah hadiah kecil untuk dia. Bukan, bukan hadiah kecil. Ini sudah kupersiapkan lama. Sebuah cincin dari hasil kerja paruh waktu selama kuliah. Dan sore ini, aku akan melamarnya.


*

16.45 Wib
Tepi Sungai Musi.

Gadisku belum datang, aku memang sedikit datang lebih awal untuk kembali mengingat banyak memoar tentangku dan dia, yang sudah terhitung lama. Lima tahun yang menyenangkan. Meskipun empat tahun diantaranya meski kita hadapi dengan banyak peluh dan pengorbanan rentang jarak dan waktu yang berbeda, Ia berbeda dari gadis-gadis kebanyakan. Tidak banyak menuntut, tidak banyak memaksa. Dan caranya membuat setiap waktuku cerah lebih dari sederhana.

Caramu mendaur ulang rasa begitu sempurna, seperti laburan setengah senja, mengarak surya bersama jingga merona. Kurasakan begitu banyak rindu berlarian ingin memeluk penujunya. Segera. 

Gadisku sampai. 
Oh Tuhan, lihat, dia masih cantik seperti dulu. Tidak, ia lebih cantik daripada yang kulihat dulu. 

Aku tersenyum ke arahnya.

"Hai, apakabar?" Tanyanya singkat dengan senyum manis tipis miliknya.
"Sangat baik. Bertahun-tahun tidak melihatmu kau semakin cantik saja."

Yang ditanya hanya tersipu, diam.

Lalu kami duduk di tepian Musi, bercengkrama tentang banyak hal, tentang kehidupannya, kehidupanku semasa kuliah, juga tentang keluarga kami masing-masing. Aku mau menunggu moment yang tepat untuk melamarnya.

"Eh, kita kan udah pacaran lama, aku juga sudah selesai kuliah.. Apa kau tidak memikirkan tentang pernikahan, sayang?" Aku mulai membuka suara.

"Eh? Menikah? Ehm.. Sebenarnya, orang tuaku menginginkanku segera menikah.."

"Oh ya? Kenapa kamu enggak bilang? kan aku bisa cepat cepat melamarmu. Aku punya sesuatu untuk kamu."

"Sesuatu? Apa itu?" Gadis itu tampak penasaran.

Aku bergegas berdiri, tepat saat senja mulai menepi di kolong kolong langit. mencoba merogoh saku celanaku mencari sebuah kotak kecil berwarna merah marun berisi cincin.

Ini akan menjadi senja terindah untukku dan dia.

Aku membantunya berdiri, menggapai perlahan kedua tangannya. menatap gadis itu lamat-lamat.

Tanpa sepatah apa, aku membuka kotak cincin itu. Tersenyum. Kamu menginginkan kita cepat menikah, bukan? Mau kah kamu menjadi Istriku, sayang?

yang ditanya justru menjadi diam.

sesaat gadis yang baru saja kulamar itu justru menangis sesegukan.

"Sayang? Kau tidak apa apa?" Aku merengkuh tubuhnya. Memeluknya perlahan.

"Kau terharu aku melamarmu secepat ini ya? Pasti kau tidak menyangka aku akan melakukannya saat ini", aku tersenyum, menghapus air mata di wajah gadisku.

Gadisku tersenyum tipis, lagi. Sambil menahan tangis, Ia berkata,

"Aku akan menikah dengan calon pilihan ibuku dua minggu lagi," ucapnya sambil mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya. 

Kotak merah marun dan cincin yang masih di sana, jatuh dengan sempurna tanpa aba-aba.

"Maafkan aku. Maafkan aku." Ia kembali menangis. Tidak lama. Ia berlari meninggalkanku. Sendiri mendapati senja hampir usai dengan raut hampa tidak menyangka.


Jingga di ujung senja mulai tenggelam lalu sempurna menghilang dibalik arakan awan.

Sama seperti halnya aku.

Kembali tenggelam terendap waktu, menyisakan malam yang entah kapan pagi datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar