Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


Di sebuah sudut kota bernama Bandung.

Kulirik jam tanganku sekali lagi. Ini sudah lebih dari setengah jam. Seharusnya tepat pukul tujuh.

Ah. aku bosan menunggu sepeti ini. ucap Mira dalam hati.

Aku sedang menunggu, menunggu dia.

Satu menit, lima menit, sepuluh menit. 

Mira mulai beranjak dari tempatnya menunggu. 

"Mungkin dia sibuk" Mira berbisik.

"Mira!" Ada seseorang dari belakang memanggil Mira.

Mira menoleh.

"Hei! Akhirnya datang juga," ucapnya kepada lelaki yang umurnya lima tahun lebih tua dari Mira itu.

Wajah mira berubah sumringah.

"Hai sayang, maaf ya, tadi jalanan macet. Kamu pasti udah lama banget nunggu ya? jawab lelaki itu dengan raut wajah penuh penyesalan. 

"Iya enggak apa-apa Rangga, kita jalan sekarang, yuk?" ucapku sambil melingkarkan tanganku di lengannya.


Malam yang indah di sebuah sudut kota bernama Bandung. Di sepanjang jalan braga kami saling melempar canda, berbagi potongan kebahagiaan, dan saling mendaur ulang rasa. bagiku, ini lebih dari cukup.

Setelah lelah lalu kami duduk menepi, di sebuah coffee shop yang tak jauh dari sana.

"Bagaimana Mira, kau senang malam ini?" tanyanya dengan sangat antusias.

"Senang sekali. Terimakasih Rangga," aku menyentuh tangannya perlahan.

Ia hanya tersenyum. 

"Oh sebentar ada telepon," ucap Rangga kemudian.

Rangga berkutat dengan telefon genggamnya selama dua menit. Dan dengan perlahan tapi pasti raut wajahnya sempurna berubah berbeda.

"Ada apa, sayang?" 

"Hmm, ada yang ingin kubicarakan padamu, Mira."

"Iya, tentang apa itu?"

"Mmm sebenarnya yang baru saja menelfonku adalah Reta, Istriku. Ia mengetahui hubunganku denganmu Mir, dan aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku mencintai Reta, juga kamu. Tetapi, Reta sudah lebih dulu kupercaya sebagai ibu dari anak-anakku. Maaf, sepertinya hubungan ini sampai di sini saja. Kumohon kau jangan menghubungiku lagi." Rangga kemudian berdiri, beranjak pergi.

Aku ternganga. Dia sedetikpun tidak memberikanku waktu untuk bersuara. Bukankah itu hakku? Aku tertatih membangunkan diriku sendiri. Menyesakkan.

Aku berjalan lunglai, terhenyak kejadian yang baru saja kualami. Memandang dengan hampa, berjalan tanpa arah, lalu kembali menyusuri Jalan Braga yang sedang ramai.

Dan pada saat yang sama, aku melihat dua cahaya besar yang semakin lama semakin mendekat. Semakin dekat seakan hendak menghempaskan tubuhku.



Aduh!

"Hey! Ngelamunin apa sih Mir? Temenin aku ke Jalan Braga, yuk! Ajak juga gih Rangga pacarmu itu," ujar Reta, sahabatnya sedari kecil sehabis memukul pundak Mira.

"Ha?" Aku menoleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar