Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan





Tepi pantai, 780km dari Belitung.

Masih pagi. Terlalu pagi malah. Tepian pantai di utara Jawa tampak lengang. Kesibukan terpusat pada arus lalu lintas dermaga, tidak jauh dari situ. Selebihnya masih tampak lengang seperti menyendiri. Begitu juga Marau.

Ada seorang gadis muda terduduk menekuk kedua lututnya di tepian pantai. Rambut ikal kecoklatannya berayun mengikuti arah angin yang tampak sepoi-sepoi. Wajah gadis itu sedang menampakkan guratan abu-abu.

“Aku rindu rumah,” ucapnya seraya mengeluarkan sebuah foto dari tas selempangnya.

Foto sebuah pulau kecil di Belitung. Pulau Lengkuas namanya.

Pulau dengan keindahan mercusuar, pantai yang jernih dan menenangkan, juga batu granit yang menakjubkan. Semua terangkai dengan seksama indahnya.

Marau membuka memori memori 10 tahun yang lalu, sebelum Ia meninggalkan kampong halamannya, Belitung. Ia menguak setiap sudut tepi pantainya, setiap langit dan senja yang tidak pernah lelah menebarkan pesonanya.

Ia menerawang menginginkan perjalanan pulang. Apakah mungkin?

Kesibukan calon suami Marau tidak bisa di terka, dan Marau jelas tidak akan diperbolehkan pergi ke luar pulau sendirian oleh orang tuanya. Begitu sulit hidup dengan banyak keterbatasan, Tuhan.

Marau tertunduk. Sesegukan.

Dari arah belakang Marau, seseorang menepuk pundaknya perlahan. Marau menoleh, menyeka tangisnya.

“Sayang, kau tidak apa-apa?” Ucap seorang lelaki bertubuh gempal dengan rambut cepak itu.

“Iya.. Hanya saja..” Kalimat Marau terpotong.

“Tapi mengapa?”

“Aku hanya rindu Belitung. Rindu Pulau Lengkuas yang sering ku kunjungi dulu..” Marau kembali sesegukan.

“Marau sayang, aku berjanji akan memenuhi permintaanmu. Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku dua bulan lagi. kamu mau bersabar kan?” lelaki yang bernama Dana itu menyentuh tangan Marau pelan, berusaha meyakinkannya.

Marau tidak bergeming.

“Sepertinya kapal yang akan kau tumpangi akan segera berangkat, haruskah kau berangkat sepagi ini? Ini masih terlalu dini,”ucap Marau.

“Tidak, fajar sudah berkata dengan terbukanya kelopak mata, lewat lembayung pagi kuning keemasan ia berkata, saatnya aku pergi. Melakukan tugasku dan kembali sebagai pria yang siap membawamu ke pernikahan. Semua ini untuk kamu, Marau.”

Dana memeluk Marau erat. Sesaat sebelum berangkat, Marau membisikkan sesuatu kepada Dana;

“Jika kau pulang nanti, bawa aku kembali ke Pulau Lengkuas, ya. Aku merindukan pasir di tepian mercusuar, juga wangi air laut yang menenangkan. Aku ingin kita bersama menikmati fajar hampir pagi dengan iring iringan gemulai kuning keemasan yang tercetak di sela-sela langit. Kamu mau kan?”

Dana memeluk Marau sekali lagi. ia menggangguk pelan. “Pasti, sayang,” lanjutnya.

Dan semilir angin dingin menghantarkan Dana pergi.

*

Tiga bulan kemudian

Aku mengarungi laut ini kembali memenuhi permintaan Marau. Wanginya masih sama. Masih serupa tidak memudar indahnya. Aku memandang tepian Pulau Lengkuas yang tetap menawan. Masih sama seperti 10 tahun silam..

Ia duduk disampingku. Kugenggam erat tanpa sedikitpun kulepaskan. Dia tersenyum. Sebentar lagi keinginannya akan tersampaikan. Keinginan tiga bulan yang lalu yang terucap di suatu pagi yang penuh dengan lembayung kuning keemasan, yang sempurna kita tatap bersama di tepian laut seberang. Ia hanya meminta permintaan sederhana.

“Jika kau pulang nanti, bawa aku kembali ke Pulau Lengkuas, ya. Aku merindukan pasir di tepian mercusuar, juga wangi air laut yang menenangkan. aku ingin kita bersama menikmati fajar hampir pagi dengan iring iringan gemulai kuning keemasan yang tercetak di sela-sela langit. Kamu mau kan?”

Aku menggangguk. Sama menggangguknya ketika kini aku menemani Marau kemari.

Keelokan mercusuar Pulau Lengkuas menyatakan selamat datang tanpa diminta, batu batu granit melebarkan tangan menjabat erat kedatangan kami berdua. Kala itu, sudah sempurna pagi. Biru muda cerah menari riang di sekitar cakrawala. Kita hampir sampai, sayang.

Aku memeluk Marau erat, ia sedang terlelap. Ia amat kedinginan selama perjalanan. Kurengkuh ia dengan jaket dari wol kesayangannya. Beranjak menepi ke tujuan kami berdua.

Kita sampai, Marau. 

Lihat mercusuar yang kau rindukan itu, wangi pantai yang selalu berhasil menenangkanmu, juga pasir putih yang selalu kau suka. Semua masih sama. Tidak berubah suatu apa.

Aku menggandeng Marau perlahan, memeluknya sekali lagi.

Menatap haru sebuah toples berisi abu Marau. Memenuhi permintaan terakhirnya.

Hari ini seharusnya jadi hari pernikahan kita, Marau sayang..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar