Minggu, 17 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo



Aku adalah anak dari seorang pedagang batik di Pasar Klewer, tetapi ibuku hanyalah penjaga kios dari toko orang lain. Upahnya pas-pasan. Untuk menyekolahkan kami berdua saja ibu sudah tidak mampu. Apalagi untuk sekedar jajan dan bersenang-senang.


Pada suatu hari, aku dan adikku sedang berkeliling pasar mencari hiburan. Agar lupa rasa lapar, agar tidak bosan.


"Kak Ela, aku ingin sekali serabi itu," rengek Dika kepadaku sambil menunjuk penjual serabi yang ada di ujung jalan.


aku yang ditanya ikut ikut menelan ludah.


"Dika sayang, kak Ela engga punya uang buat beli serabi itu, nanti kalo kakak sudah punya uang banyak kakak beliin serabi yang banyak yaaaaa,"ucapku meredamkan adikku.


"Tapi aku kepingin sekali Kak, aku mau serabi itu Kaaaaaak,"adikku yang berumur lima tahun ini merengek makin menjadi.


Aku kasian dan tidak tega sekali melihat adikku merajuk seperti ini. Tetapi bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai uang. 


Dan otakku mulai berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat.


Aha! Satu ide terpampang di benakku.


Dika, kamu tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana. Kakak mau cari uang buat beliin kamu serabi itu," ucapku pada Dika.


Dika mengangguk.


Lalu aku mulai melancarkan strategy yang telah kubuat sebelumnya.


Kuputari daerah sekitaran pasar yang ramai, mencoba berdesak-desakkan dengan para pengunjung pasar. Mencari celah dan kesempatan.


Hap! 


Dengan amat mulus ku berhasil mengambil sebuah dompet dari ibu-ibu gendut yang tengah sibuk memilih batik di kerumunan pengunjung. Saatnya kabur dan membelikan adikku serabi yang diinginkannya.


Tuhan, maafkan aku. Ibu, maafkan aku.


Secepat kilat aku berlari ke arah penjual serabi , mengambil beberapa uang dari dompet hasil curian, dan membuang sisanya. Aku benar benar hanya ingin membelikan adikku serabi itu. Tidak lebih. Tidak boleh ada perbuatan dosa lagi. Hatiku berontak tidak karuan. Antara takut dan menyesal.


*


Sebungkus serabi sudah di tangan, saat kupastikan keadaanku sudah aman, aku  berjalan santai menuju tempat adikku menunggu tadi.


"Dika, tunggu Kakak sebentar lagi. Kakak bawa serabi sesuai keinginanmu," ucapku riang dengan menjinjing plastik berisi serabi yang masih hangat.


Sesampainya di tempat tadi, aku kebingungan. Adikku di mana?


Kucari-cari adikku di sekitar pasar, tetapi yang tertuju justru sekelompok orang yang ramai dan berkerumun. Seperti ada sesuatu.


Ya Tuhan! Jangan-jangan adikku?!


Aku berlari menerobos orang-orang yang mengerumuninya.


Dan benar saja, adikku ada di sana.


Aku menangis. Mengangisi adikku yang membisu di atas aspal.


Kemudian aku terpaku selama beberapa saat.






Itu Aku.
Terkapar berlumuran darah dengan serabi hangat yang masih ada di genggaman tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar